Kamis, 20 Agustus 2015

Berbaikan dengan Jakarta

Suasana Kota Tua, Jakarta
Sudah beberapa bulan ini aku menganggur dan tak tahu berbuat apa… Beberapa pertanyaan silih berganti menerjang telinga… Ketika sebelumnya aku dicekoki untuk segera menjawab pertanyaan kapan tamat kuliah berganti sudah dengan pertanyaan kapan bekerja? Inilah realitanya daur hidup manusia…
 
Aku membuka email, hanya notifikasi jejaring sosial. Aku buka website, masih belum ada kabar. Beginilah yang aku lakukan berminggu-minggu dan berganti bulan menanti apakah lamaran kerja yang aku masukkan di jobstreet.co.id mendapat perhatian dari perusahaan yang bersedia menampung sarjana tanpa pengalaman kerja. Boro-boro pengalaman kerja, kuliahpun aku telat beberapa langkah dari teman seangkatan. Hal ini mungkin yang membuat perusahaan enggan melirik aku beberapa saat ini. Tetapi, aku masih punya beberapa minggu lagi sampai misi triwulan pencarian kerja ku berakhir. Maka, aku tak akan menyerah…

Handphone berdering dari nomor tak bernama saat aku hendak ke ATM Mandiri mengirim titipan uang untuk ponakan. Aku mengangkat seperti biasa tanpa salam dan nada suara bak pejabat negara, karena ku kira mungkin dari undian berhadiah yang mengintaiku karena menuju ke pabrik uang. Hahahaha…. Dugaanku salah, inilah yang ku nantikan… Sapaan hangat di ujung telepon membuat jantungku berhenti berdenyut, sesaat kemudian aliran darah seolah melintas batas dari urat syarafku. Aku terfokus pada kalimat, “Bersediakah anda untuk mengikuti interview di Jakarta?” Aku tak dapat berpikir lagi…

Sesampai dirumah, aku gelisah memikirkan tawaran interview ini. Aku sudah mendapatkan pesan singkat yang memperjelas bahwa aku mendapat tawaran interview dari salah satu perusahaan di Jakarta dengan alamat lengkap dan jadwal interview. Sejenak aku kembali mengungkit ingatan, aku sudah memantapkan diri untuk mencari kerja di luar pulau Jawa dan Sumatera. Aku selalu apply di perusahaan yang berada di Kalimantan atau Sulawesi. Karena aku berharap bahwa di sana masih membutuhkan banyak tenaga kerja dibanding Pulau Jawa (terkhusus Jakarta) yang sudah melimpah pengangguran bertitel. Daerah yang masih berkembang membuatku berpikir bahwa akan banyak pengalaman yang bisa aku peroleh dibandingkan dengan Pulau Jawa yang sudah jenuh. Namun ternyata, sedikit yang aku apply di Pulau Jawa memberikan jalan yang lebih cepat untuk mendapat kepastian meskipun memang ini belum pasti aku bakalan kerja di sana atau tidak.

Minggu pagi (09 Agustus 2015) aku bertolak dari Jambi menuju Jakarta. Aku sudah merekonstruksi kembali tentang misi masa depanku. Sebelumnya aku sempat berdebat dengan diriku sendiri mengenai kondisi ibukota, mengenai kelayakan hidup di Jakarta, dan kesiapan aku menerima kehadiran Jakarta dalam keseharianku nanti. Aku sudah sempat tinggal beberapa hari di Jakarta dan sudah menyaksikan fenomena sosial dan kondisi lingkungan yang nyata di depan mataku sendiri. Bagaimana kehidupan kita akan berakhir setiap hari dengan kemacetan, bagaimana udara yang kita hirup bercampur debu jalanan, bagaimana bau dari sampah dan genangan air kotor dibanyak titik kehidupan kota metropolitan, dan bagaimana bisa kardus mie instan menjadi kasur yang empuk bagi penduduk di jalanan… Apalagi berita di televisi mengenai banyaknya kejahatan di ibukota. Aaaah, rasanya terlalu dini aku berpikir demikian, apakah sudah pasti aku akan menetap di Jakarta? Tinggal sekarang yang pasti aku akan menghadapi interview yang akan menjemput esok hari.
Reza Aprianto, teman sekamar sewaktu di asrama SMA Titian Teras dulu bersedia menampung pengangguran di ruangan minim. Aku beruntung karena masih ada teman berstatus mahasiswa di kampus STIS Jakarta… Itu artinya, aku punya tempat tinggal gratis. Hahahaha… Dia bertanya kepadaku, “Kita threesome bertiga di kamar ya… Aku sekarang berdua sekamar. Mau kan?” Yaaa, bagiku mau apapun terserah yang penting aku bisa tidur pake kasur dan tidak ada biaya tambahan. Cukup.
Aku memintanya menemaniku mencari lokasi perusahaan. Dengan menggunakan angkutan massal comuter line kami berangkat dari Stasiun Tebet menuju Stasiun Jakarta Kota. Tepat disekitar stasiun Jakarta Kota, aku melempar pandang di sekeliling untuk mencari Pos Indonesia karena di pesan singkat tertulis lokasi perusahaan berada di belakangnya. Disekitar stasiun aku melihat ada busway, ada bajaj, ada gedung-gedung, pedagang kaki lima, dan ada wanita cantik tersenyum dengan suaminya yang menggendong anak, sialnya aku salah focus.
Kami berjalan kaki disepanjang perjalanan melewati Kota Tua, disana ada museum Fatahillah, seniman patung orang yang duduk dikayangan, anak-anak jalanan breakdance, rental sepeda ontel, dan ada bule dengan busana minim… Daripada sibuk mencari kami buka aja aplikasi maps, Reza buka google maps, aku buka here maps, dan pemenangnya masih nokia di hatiku… Mengikuti arahan here maps, akhirnya kami sampai hanya beberapa saat, akurasi yang mantap. Dan kini, di depan mataku tampak bangunan ruko bertingkat, tidak begitu besar memang dengan warna biru yang berbeda dari cat bangunan disisi kiri kanannya. Aku sudah menemukan perusahaannya tapi masih terkunci (mungkin karena hari minggu dan aku sadar hari ini libur), aku membaca tulisan di atas pintunya, PT. Adhinusa Lestari Jaya. Yaaa, inilah perusahaannya.
Hari sudah sore, kami tidak langsung pulang karena perut lapar belum makan siang. Tidak perlu aku ceritakan, kami hanya makan nasi padang di sekitar lokasi perusahaan. Setelah selesai, kami memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu di tempat hiburan malam. Benar dan tidak salah, kami akan mencari tempat hiburan malam.
Kami memilih masjid Istiqlal untuk mengisi hiburan malam. Jangan salah sangka kawan, di masjid itu kita juga mendapat hiburan. Rohani kita menjadi nyaman dengan suara ayat Al-Qur’an, belum lagi kemegahan bangunan masjid yang membuat mata kita takjub. Siapa sebenarnya dalang pembuatan bangunan suci ini? Aku tahu jawabannya setelah googling. Puas menunaikan dua shalat wajib yaitu maghrib dan isya, kami kembali mencari tempat hiburan, mana lagi kalau bukan ikon Jakarta, Monas. Jaraknya hanya ditempuh dengan berjalan kaki dari Istiqlal. Tetapi aku kecewa karena Monas tutup, entah perkara apa yang terjadi. Mungkinkah penjaga tau bahwa aku mengincar emas murni di puncak menara itu sehingga mereka menutupnya? Hellooo, aku bukan aktor dalam film mission imposible… Akhirnya aku hanya memandang kagum diluar pagar sambil melirik jajanan disekitarnya, dan aku tahu mana yang ku mau, kerak telor seharga 20ribu per porsi. Kampreeet…!!!
Sudah terlalu lama kami asyik sendiri, masih duduk di kursi taman Monas, dengan kecewa kamipun bersikap cuek membelakangi monument itu dan tentu karena memandang gadget masing-masing, fenomena sosial yang menyebar di ibukota… Reza dengan tabletnya, aku masih setia dengan nokia jadul. Disini aku masih merenungi Jakarta… Apa yang kau lakukan sehingga aku berprasangka buruk terhadapmu? Sepanjang aku mencari jawaban, ternyata aku sudah berada di busway untuk pulang dan hati ini belum berbaikan dengan Jakarta…

3 komentar:

  1. Eksentrik banget kota tua, rencana september mau ke sana hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hayuuuk gan, sudah selesaikah perjalanan ke Kota tua nya???

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus