Minggu, 23 Agustus 2015

Perjanjianku dengan Fatahillah...


Selepas menyelesaikan perkara wawancara dan psikotes serta kunjungan mendadak ke pabrik pembuatan pakan ikan di Muara Angke, aku melepas senja dikerumunan pasar ikan yang berdekatan dengan pabrik. Aku tidak ingin mendekat, salah kostum rasanya jika masuk kesana mengenakan drescode kemeja putih dan celana hitam panjang plus pantofel pinjaman penghuni kosan. Aku memandang dari seberang penuh hiruk pikuk dengan kendaraan besar memadati jalanan di sampingku, aku telah melihat ada kehidupan semacam ini di kota yang katanya Metropolitan.
 
Hilir mudik kendaraan membuatku tidak betah lama-lama disini, debu bertebaran dan suara klakson bersautan ditambah lagi pengerjaan badan jalan yang membuat suasana semakin tak nyaman. Herannya kondisi ini malah penuh tawa disudut lain, aku melihat sebuah kolam atau tepatnya itu parit dan anak-anak riang gembira bermandikan limbah.

Bajaj kosong menghampiri, aku langsung naik minta diturunin di Stasiun Kota. Kata Bu Lia (Sang Interviewer) nanti sepulang dari pabrik naik bajaj aja biayanya 15ribuan. Ini perjalanan pertama naik bajaj, aku tak menyangka sensasinya bakalan berbeda, seru dan kampret. Diperempatan sang driver mencoba unjuk gigi, ditengah padatnya jalan dia malah menaikkan kecepatan. Aku bersorak dibelakang, dia memicingkan mata. Maaf, aku tidak menyukai mata mesumnya. Akhir kata kami sampai ditujuan, ku berikan sesuai harga. Aku menjauh dari bajaj dan supir mendengakkan kepalanya keluar bajaj, kali ini matanya melotot. Aku paham perlakuan semacam ini dan beginilah pemerasan yang pertama aku alami di Jakarta….
 
Aku sudah meyelesaikan shalat magrib di masjid belakang gedung Bank BNI, tak jauh dari stasiun kota. Aku pikir terlalu cepat rasanya untuk pulang dan comuter terakhir sampai jam sebelas malam, begitu pesan Reza. Akhirnya aku berbelok dan menjauh dari stasiun dan menghampiri bangunan Kota Tua. aku menghampiri Café Batavia, bukan untuk menikmati sensasi kopi di malam hari hanya memandangi arsitektur bangunannya saja, café semacam itu tidak cocok untuk kantongku.
 
Sengaja aku duduk di tengah lapangan, lagu Gone Gone Gone dari Phillip Phillips menemani kesendirianku. Menikmati malam dengan nuansa tempoe dulu, menghadirkan rasa keingintahuanku tentang nilai-nilai sejarah masa lalu. Aku membuka buku yang ada di dalam tasku. Buku ini sudah ku beli beberapa bulan yang lalu di Gramedia Bandung. Aku tergelitik untuk memilikinya, judul bukunya “Jelajah Negeri Sendiri” yang diterbitkan Bentang Pustaka. Di dalamnya berisi jurnal perjalanan tak biasa—catatan perjalanan merawat nasionalisme, begitu deskripsi di cover bukunya. Aku terlena dengan bab-bab di dalamnya, entah sudah berapa lagu terlewati dari ipod shuffle yang disumpel headset ke telingaku. Sekelilingku dipenuhi manusia yang juga mencuri kesenangan dari Kota Tua.
Perjalanan pulang, pukul sembilan malam meninggalkan Kota Tua. Aku tidak yakin bakalan menyudahi penjamahanku disana. Aku sudah menitip pesan pada Fatahillah, aku akan kembali menjemput Diponegoro dari penjara yang mengerikan…

0 comments:

Posting Komentar